Kamis, 04 Desember 2008

Reportasi: Cak Nun KiaiKanjeng dan Luka Para TKW di Abu Dhabi

Sebelum pentas di Abu Dhabi, rombongan KiaiKanjeng menemui 126 TKW yang berposisi melarikan diri dari majikan-majikan mereka dan ditampung oleh KBRI di Uni Arab Emirat. Sehari sebelumnya hanya ada 46 TKW tapi hari itu bertambah menjadi 126. Cak Nun dan KiaiKanjeng berdialog dengan mereka, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, terutama tentang sebab-sebab mereka kabur dari majikannya.

Sesudah tour dua minggu di Nederlands dan bersama Teater Dinasti mementaskan "Tikungan Iblis" di Surabaya, KiaiKanjeng tanpa mampir pulang ke Jogja langsung terbang ke Abudhabi untuk tampil di Cultural Foundations mempersembahkan karya di hadapan para diplomat, pengusaha dan masyarakat Uni Arab Emirat, di samping pentas juga di hadapan masyarakat Indonesia sehari sebelumnya.

Jalan di Atas Arang Membara

KiaiKanjeng melakukan wawancara kepada para pekerja wanita 'pelarian' Indonesia di negeri itu. Jumlah TKW kita di UAE sekitar 45.000 orang yang umumnya berasal dari Jatim, Jateng, Jabar, TKW dan Kalsel. Mereka adalah pekerja-pekerja tingkat terendah sejajar dengan pekerja dari Sudan, Nepal dan Ethiopia.

Pekerja lain dari Philippines, Bangladesh, India dan Pakistan umumnya lebih memiliki ketrampilan, sehingga bisa berkiprah di sektor-sektor yang lebih proffesional.

126 TKW itu melarikan diri dari para majikannya umumnya karena tidak digaji, ada yang beberapa bulan, bahkan ada yang 4 tahun belum digaji. Di samping itu juga karena disiksa oleh majikannya: disiram air panas, dipukuli, dipaksa makan nasi basi tiga hari berturut-turut, disuruh berjalan di atas arang membara, dan sebagainya.

Menurut pengakuan mereka, sebab siksaan-siksaan itu bermacam-macam. Karena ibu majikan cemburu, karena hasutan para pekerja lain yang bukan dari Indonesia, serta sebab-sebab lain yang umumnya berasal dari masalah-masalah yang kecil dan sepele.

Rendahnya Kualitas Kerja

Menurut sumber dari KBRI sebenarnya ada juga yang sebabnya berasal dari kita sendiri. Misalnya karena organisasi pengiriman tenaga kerja kita di Indonesia tidak memberikan ketrampilan yang memadai, sehingga tidak sedikit pekerja kita yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan dari kewajiban kerjanya, di samping sama sekali tidak memiliki bekal bahasa.

"Mungkin sekali tidak ada training sebelum mereka dikirim", kata salah seorang personil KBRI yang bertugas dalam penampungan, "Indonesia bukan tidak punya tenaga trampil atau berkemampuan bahasa, tetapi lembaga-lembaga pencarian tenaga kerja kita sepertinya lebih memilih segmen TKW yang mudah dibodohi, sementara tenaga kerja lain yang lebih berpendidikan dan berketrampilan tidak banyak yang berpikir untuk bekerja di luar negeri. Sehingga yang kita eksport adalah tenaga kerja yang paling rendah kwalitasnya".

KBRI Tidak Tahu Jumlah TKI

Dalam kunjungan ke Saudi Arabia tahun lalu KiaiKanjeng memperoleh informasi bahwa pihak KBRI tidak memiliki informasi tentang jumlah TKW Indonesia. Sebabnya karena Kerajaan Saudi Arabia memiliki perjanjian ketenaga-kerjaan sendiri dan langsung dengan biro-biro penyediaan tenaga kerja di Indonesia tanpa keterkaitan dengan Pemerintah RI.

Posisi dan bargaining power tenaga-tenaga kerja kita di Negara-negara Arab sangat berbeda dengan yang di Hongkong, Korea Selatan atau Malaysia. Terutama karena di Kerajaan-kerajaan negeri Arab tidak ada kejelasan hukum, sementara para pekerja kita yang dikirim ke sana juga relatif tidak memiliki pemahaman hukum tentang kontrak kerja dengan segala lika-likunya.

Cak Nun: Belum ada harapan hukum dan politik

Cak Nun: Belum ada harapan hukum dan politik
Belum ada harapan hukum dan politik

Cak Nun mengatakan kepada para TKW pelarian itu bahwa ia sangat bersedih karena belum melihat ada harapan hukum maupun politik yang dalam waktu dekat bisa menolong mereka berubah dari keterpurukan. "Saya tidak bisa menjanjikan kepada Anda upaya menekan atau mengubah Pemerintah kita untuk berubah dari ketidakmampuan mereka secara hukum maupun politik untuk mengantisipasi apa yang Anda alami bersama ribuan saudara-saudara kita lain di tempat yang berbeda", kata Cak Nun.

"Yang hari ini bisa saya lakukan", ia melanjutkan, "adalah mengajak Anda semua untuk tetap percaya kepada kehidupan, kepada tak terbatasnya kemungkinan di hari depan kita semua, kepada tawazzun (penyeimbangan) yang pasti dilakukan Tuhan, serta perlakuan-Nya yang khusus kepada hamba-hambanya yang dianiaya".

Cak Nun mengajak mereka untuk sementara ini memanfaatkan penderitaan untuk dijadikan tambahan ilmu dan kematangan hidup. "Mungkin inilah kesempatan untuk mencari orang yang lebih menderita dibanding kita. Misalnya, apakah Kanjeng Nabi Muhammad Anda juga menderita?"

Para TKW menjawab, "Ya".
"Siapa yang lebih menderita, Kanjeng Nabi atau kita?", tanya Cak Nun.
Mereka menjawab, "Kanjeng Nabi".

Cak Nun menanyakan siapa di antara para TKW itu yang punya anak laki-laki? Sejumlah dari mereka mengangkat tangan. "Kanjeng Nabi tidak diperkenankan oleh Allah untuk punya anak laki-laki. Beliau punya Qasim, tapi diambil Allah ketika masih kanak-kanak. Anda-anda yang punya anak lelaki, maukah Anda menjadi kaya raya dan sukses tapi putra Anda diminta oleh Allah?"

Para TKW itu menangis. Dan hampir semua kemudian juga terisak-isak ketika KiaiKanjeng mengajak mereka melantunkan beberapa shalawat bersama yang ternyata mereka sangat hapal. Cak Nun mengajak mereka mempersiapkan diri untuk tampil melantunkan itu bersama KiaiKanjeng pada 22 November malam waktu setempat di depan masyarakat Indonesia di Abu Dhabi. ****

Tidak ada komentar: