Rabu, 10 Desember 2008

Sekilas Cerita Teater Dinasti,Tikungan Iblis

Bagi publik teater yang mengikuti perkembangan teater tahun 1980-an, tentu tidak asing dengan kelompok teater pimpinan Fajar Suharno (eks Bengkel Teater) ini. Pada periode itu, Dinasti pernah tampil antara lain melalui Geger Wong Ngoyak Macan.

Berdiri pada 1977, Dinasti bisa disebut kelompok teater yang mengambil peran penting dalam dinamika seni, budaya, dan politik di negeri ini, pada saat represi Orde Baru menguat. Saat itu, Dinasti memilih posisi sebagai kelompok teater kritis atau teater yang terlibat dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan budaya. Lakon-lakon yang dipilihnya pun acapkali membikin "telinga kekuasaan" merah. Dua repertoar mereka pun berujung pada pelarangan, yakni Patung Kekasih dan Sepatu Nomor Satu.

Setelah Bengkel Teater Rendra off dari panggung karena dicekal penguasa, Dinasti hadir sebagai pilihan publik yang gelisah akibat tekanan politik pembangunan Orde Baru. Peran sebagai budaya tanding ini dijalani Dinasti hingga menjelang 1990-an.

Apa yang akan ditawarkan Dinasti sekarang melalui Tikungan Iblis? Masihkah ia membawa protes sosial?

Kondisi sosial-politik di Indonesia telah berubah, sejak reformasi bergulir tahun 1998. Represi politik --seperti dilakukan Orde Baru-- tidak lagi dominan. Dinasti akan menjadi kelompok yang "bangun kesiangan" jika masih meradang dengan protes sosialnya. Bukankah media massa jauh lebih terbuka dan berani mengungkapkan berbagai realitas itu? Bahkan media massa terkadang jauh lebih dramatik dalam pengungkapan dibanding kesenian.

Kelumpuhan Budaya

Tapi benarkah persoalan bangsa ini lantas menjadi selesai dengan keterbukaan politik dan kebebasan pers?

Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis gerakan Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang "tanpa" persoalan. Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan bangsa, melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru seperti ketimpangan sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/ martabat, politik kekuasaan yang rakus dan sombong, korupsi kolektif yang makin menguat, dan lainnya. Makin menguatnya kapitalisme pasar, industrialisme dan materialisme yang menjelma menjadi berhala, adalah beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi dimensional bangsa ini, pasca Reformasi 1998.

Yang terjadi kemudian adalah kelumpuhan budaya di berbagai bidang: masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehingga tidak berdaya secara budaya merespons secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme. Masyarakat pun mengalami semacam degradasi nilai. Dunia politik, misalnya, tak lebih dari sekadar jual-beli kekuasaan. Dunia ekonomi tak lebih dari pasar bebas yang direstui negara untuk mengeksploitasi masyarakat. Dunia hukum tak lebih dari mafioso pengadilan di mana rakyat gagal menemukan rasa keadilan. Dunia kesenian (khususnya kesenian massa), tak lebih dari kelangenan yang mendangkalkan selera, cita-rasa, dan pikiran.

Dalam seting buram itu, Dinasti mencoba memberikan respons kritis atas berbagai persoalan sosial, spiritual, politik, dan kebudayaan bangsa ini melalui kontemplasi. Digarap sutradara Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno, pementasan ini menggunakan pendekatan multimedia.

Lakon Tikungan Iblis setidaknya menawarkan dua tesis. Pertama, tentang kehidupan beragama dan penghayatan religius yang terkait dengan keberadaan tokoh Iblis. Iblis selama ini telah mapan diberi stigma buruk sebagai "raja kegelapan" yang mendorong manusia melakukan berbagai penyimpangan nilai-nilai ideal, baik pada level agama maupun budaya. Manusia cenderung selalu menjadikan Iblis sebagai kambing hitam atas berbagai penyimpangan yang dilakukan. Padahal, dorongan penyimpangan umat manusia adalah syahwat pemuasan diri seperti kerakusan, hedonisme, naluri korup, kebengisan, dan keinginan untuk selalu menguasai/menindas sesama manusia atau alam. Berabad-abad, cara berpikir itu menjadi upaya manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.

Dalam konteks itu, Tikungan Iblis mencoba menawarkan tesis yang berbeda dari pemahaman Iblis yang klasik. Yakni, Iblis bukan saingan Tuhan untuk menguasai manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi "alat" Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan "antitesis" atas "tesis" Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh, mendasar, dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket, melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika manusia mengakui eksistensi Tuhan --dengan seluruh nilai-nilai idealnya, maka pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan "pembelaan" atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas sosok Iblis.

Dari Garuda ke Emprit

Tesis kedua, bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam narasi yang mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban. Iblis --yang sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi-- akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling berbunuhan. Umat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar "tapel" --sebuah terminologi elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat.

Kekurangmampuan untuk meningkatkan kualitas diri membuat bangsa kita mengalami kemerosotan martabat. Padahal, bangsa kita memiliki genetika unggul sebagai Burung Garuda sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam, dan berjuang (ingat sejarah kebesaran Dinasti Syailendra, Majapahit, Sriwijaya, dan lainnya). Namun, karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas (baca kolonialisme), maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya. Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu, dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk terbang dan menerkam.

Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan, kemuliaan, dan kebesaran; bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Saatnya martabat itu harus direbut. (*)

Indra Tranggono, pemerhati kebudayaan, teater, dan penulis cerpen
Tikungan Iblis akan digelar tgl 30 Des, pkl 20.00, di TIM Jakarta

Ijtihad dan Mujtahid

Ijtihad dan Mujtahid

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Islam adalah agama samawi, di dalamnya terdapat prinsip-prinsip ajaran yang sangat luhur sebagai landasan berpikir dan bekerja untuk mencapai hidup sejahtera dunia dan akhirat. Kesejahteraan hidup di dunia dapat diraih melalui berbagai cara, diantaranya adalah kerja keras membanting tulang mencari rizki.
Prinsip-prinsip ajaran islam yang berakar dari syahadah atau kalimah tauhid akan mengantarkan pemeluknya senantiasa berpikir positif dan bekerja keras sebagai media untuk mendapatkan rizki seperti yang diharapkan.oleh karena itu memahami ajaran Islam secara komprehensip merupakan langkah awal.
Pada dasarnya prinsip-prinsip ajaran islam bertolak dari rukun islam sebagai konsep dasar sistem kehidupan sosial masyarakat.Iman dan tauhid akan memberikan kontribusi pemikiran sekaligus landasan aksi dan solusi terhadap permasalahan yang berkembang ditengah masyarakat. Menggalakkan ekonomi kerakyatan melalui sektor pertanian intensif sebagai salah satu upaya unt`uk membantu pemerintah dalam mengurangi jumlah angka pengangguran. Jika ada kelompok masyarakat yang mempunyai inisiatif dalam melakukan tindaklan di atas, ia layak disebuit sebagai pahlawan. Hanya saja, bagaimana caranya untuk meningkatkan sistem pertanian subsisten menjadi surplus. Disinilah peran pemerintah sebagai agent of development.
Wahyu yang diturunkan kepada nabi muhammad sudah berakhir, dan allah tidak akan lagi menurunkan wahyu seperti yang pernah diturunkan kepada ibrahim, ishaq, ya`qub, musa, isa, dan muhamad.
Sedangkan pembaruan tergantung kepada ijtihad sebagai salah satu sumber jurisprudensi islam (mashâdiru-t tasyrî` al-islâmî). Kita semua tahu sumber otoritas ijtihad ini dari hadits yang begitu popular, ketika rasul mengutus mu`adz bin jabal ke yaman. Maka dalil di atas menunjukkan bahwa ijtihad merupakan dasar dari sumber hukum dalam islam.
Merujuk pada latar belakang tersebut, akhirnya penulis tertarik untuk menyusun sebuah makalah dengan judul Ijtihad dan Mujtahid.
1.2. Identifikasi Masalah
Guna memudahkan dalam mengumpulkan data dan materi, penulis mencoba mengidentifikasikan beberapa point pertanyaan sebagai acuan pencarian data. Adapun identifikasi masalah yang penulis buat antara lain :
1. Apa pengertian Ijtihad dan Mujtahid ?
2. Bagaimana kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum ?
3. Seperti apa macam-macam ijtihad ?
4. Bagaimana fungsi ijtihad di masa sekarang ?
1.3. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini antara lain yaitu :
1. Mengetahui pengertian Ijtihad dan Mujtahid
2. Mengetahui kedudukan ijtihad sebagai sumber hukum
3. Mengetahui macam-macam ijtihad
4. Mengetahui fungsi ijtihad di masa sekarang
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ijtihad dan Mujtahid
Menurut pengertian kebahasaan kata Ijtihad berasl dari bahasa arab yang kata kerjanya “jahada” , yang atinya berusaha dengan sungguh-sungguh . menurut istilah dalam ilmu fiqih , ijtihad berarti mengerahkan tenaga dan pikiran dengan sungguh-sungguh untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-qur’an fdan hadits dengan syarat syarat tertentu . muslim yang melakukan ijtihad di sebut mujtahid . agar ijtihadnya dapat menjadi pegangan bagi umat , seorang mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan . yusuf Al-qardawi (ahli usul dan fikih) , menjelaskan bahwa persyaratan pokok untuk menjadi mujtahid adalah :
• memahami al-qur’an dan asbabun nuzulnya (sebab-sebab turunnya ayat-ayat Alqur’an ) , serta ayat-ayat nasikh (yang menghapus hukum) dan mansukh (ang dihapus) ,
• memahami hadits dan sebab-sebab wurudnya (munculnya hadits-hadits) , serta memahami hadits-hadits nasikh dan mansukh ,
• mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang bahasa arab ,
• mengetahui tempat-tempat ijmak ,
• mengetahui usul fikih ,
• mengetahui maksud-maksud syariat ,
• memahami masyarakat dan adat istiadatnya , dan
• bersifat adil dan taqwa .
Selain delapan syarat tersebut beberapa ulama menambahkan tiga syarat lagi , yaitu :
• mendalami ilmu ushuluddin (ilmu tentang akidah islam ) ,
• memahami ilmu mantik (logika ),
• mengetahui cabang-cabang fikih
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu , yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits .
Tingkatan Ijtihad adalah sebagai berikut :
1. Mujtahid Mutlak: yaitu mujtahid yang mampu mengistimbathkan hukum dengan menggunakan metode yang disusun sendiri. Contohnya adalah para Imam mazhab.
2. Mujtahd Muntasib: mengistimbatkan hukum dengan mengikuti metode imamnya tetapi tidak bertaklid. Contoh Abu Yusuf (muridnya Hanafi), Al-Muzani (Syafi’i), Ibnu Abdil Hakam (Maliki), dan Abu Hamid (Hanbali).
3. Mujtahid Mazhab: yaitu mujtahid yang mengikuti imamnya baik dalam usul maupun furu’.
4. Mujtahid Murajjih: yaitu mujtahid yang membandingkan beberapa pendapat imam dan memilih salah satu yang dipandang kuat.
2.2. Kedudukan Ijtihad sebagai Sumber Hukum Islam
Ijtihad dikalangan ulama Islam merupakan salah satu metode istinbath atau penggalian sumber hukum syara melalui pengarahn seluruh kemampuan dan kekuatan nalarnya dalam memahami nash- nash syar’I atas suatu peritiwa yang dihadapi dan belum tercantum atau belum ditentukan hukumnya.
Adapun hukum melakukan ijtihad antara lain :
1. Orang tersebut dihukumi pardlu a’in untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya.
2. juga dihukumi fardlu a’in jika ditanykan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya.
3. Dihukumi fardlu kifayah ,jika permasalahan yang dijukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya.
4. Dihukumi Sunnah apabila ber-Ijtihd terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya maupun tidak.
5. Dihukum haram,apabila ber-Ijtihad terhdap permasalhan yang sudah ditetapkan secara qat’I ,sehingga hasil ijtihad itu bertentangan engan dalil syara.
Ijtihad dapat dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum Islam.Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali,baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat,diantaranya adalah Firman Allah SWT yang berbunyi :
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.(QS.Surat An-Nisa,105).
Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan pencurian yang dilakukan Thu’mah dan ia Menyembunyikan barang curian itu di rumah seorang Yahudi. Thu’mah tidak mengakui perbuatannya itu malah menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh kerabat-kerabat Thu’mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi membela Thu’mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu’mah, Nabi sendiri Hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi Wafat .Mereka selalu berijtihad jika menemukan suatau masalah baru yang tidak terdapat dalam AL-Qur’an dan Sunnah Rasul.
2.3. Macam-macam Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun hal-hal ibadah tidak bisa diijtihadkan.
Macam-macam ijtihad dapat dikelompokkan sebagai berikut :
• Dari segi pelaku: a. Ijtihad fardi b. Ijtihad jamai
• Dari segi pelaksanaan:
1. Ijtihad Intiqai: yaitu ijtihad untuk memilih salah satu pendapat terkuat diantara beberapa pendapat yang ada. Bentuknya adalah studi komparatif dengan meneliti dalil-dalil yang dijadikan sebagai rujukan. Disebut juga ijtihad selektif.
2. Ijtihad Insyai: yaitu mengambi konklusi hukum baru terhadap suatu permasalahan yang belum ada ketetapan hukumnya. Disebut juga ijtihad kreatif.
2.4. Fungsi Ijtihad Di Masa Sekarang
Fungsi ijtihad ialah untuk menetapkan hukum sesuatu , yang tidak ditemukan dalil hukumnya secara pasti di dalam A-lqur’an dan hadits .
Begitu pula dewasa ini, kehidupan dimulai dari realita. Kita tidak mulai pembaruan dari teks, tidak dari agama, akidah ataupun dari syari`at. Ini adalah metode Islam ketika kita mencermati metode asbâb al-nuzûl (konteks sosial atau sebab-sebab turunnya wahyu), dan nâsikh wa al-mansûkh (ayat yang menghapus dan ayat yang dihapus). Asbâb al-nuzûl berarti memperhatikan dan memprioritaskan realita atas teks, memperhatikan pertanyaan daripada jawaban. Seperti ayat-ayat wa yas`alûnaka `ani-l khamr (mereka bertanya kepadamu mengenai khamer/minuman keras), wa yas`alûnaka `ani-l mahîdl (menstruasi), wa yas`alûnaka `ani-l anfâl.. dst. Saat ini apa pertanyaaan-pertanyaan yang dihadapai kaum muslimin? wa yas`alûnaka `ani-l awlamah (globalisasi), wa yas`alûnaka `an nihâyah at-târîkh (akhir sejarah), wa yas`alûnaka `ani-l ihtilâl (kolonialisme), wa yas`alûnaka `ani-l faqr (kemiskinan), wa yas`alûnaka `ani-l bathâlah fi indûnisiâ (pengangguran di Indonesia), wa yas`alûnaka `ani-l fasâd (kerusakan)...dst. Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah permulaan, dari permasalahan dan musibah yang menggejala di seluruh masyarakat muslim. Jadi kita memulai dari realita yang general.
Maka dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya fungsi ijtihad dewasa ini ialah sebagai salah satu cara untuk menentukan hukum islam yang tidak tercntum secara jelas dalm Al-Quran dan Al-Hadist.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hukum menurut pengertian bahasa berarti menetapkan sesuatu atau tidak menetapkannya . Misalnya , menetapkan sifat panas pada api dan menetapkan sifat dingin pada es atau tidak menetapkannya . Menurut istilah ahli usul fiqih , hukum adalah khitab atau perintah Allah SWT , yang menuntut makalaf (orang yang sesudah baliq dan berakal sehat) untuk memilih antara mengerjakan dan tidak mengerjakan , atau menjadikan sesuatu sebagai sebab , syarat atau penghalang bagi adanya yang lain , sah , batal , rukhsah (kemudahan) , dan azimah . Menurut istilah ahli fikih , hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh tuntutan syariat , berupa al-wujub , al-mandub , al-hurmah , al-karabah
Dan ibadah . Sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut wajib , sunnah (mandub) haram , makruh , dan mubah
DAFTAR PUSTAKA
Alim, Muhammad, (2006), Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, Remaja Rosdakarya, Bandung
Ali, A, Mukti, (1990), Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Mizan, Bandung
Ar, Razi,Fakh Ar-Din ,al-mashul fi’ilm Ushul Al-Fikh ,Biert:Dar Al-Kutub AL- Ilmiyah ,1988.
Ali HassablhUshul At tasry ‘Al- Islami ,Kairo , l-Ma’arif ,1973
Husein, Machnun, ed., (1992), Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam, Pustaka Jaya, Jakarta
Muhammad, Afif, (1986), Tauhid, Dunia Ilmu, Bandung