Kamis, 04 Desember 2008

KiaiKanjeng Terus Berjanan

KiaiKanjeng mensyukuri lahirnya album Terus Berjalan sebagaimana KiaiKanjeng mensyukuri segala sesuatu yang dialami dan dijalaninya dalam kehidupan sehari-hari termasuk seperti saat ini ketika misalnya KiaiKanjeng sedang berada di Abu Dhabi untuk acara Indonesian Cultural Night 2008 20-25 November 2008 di Gedung Cultural Foundation Abu Dhabi. Sebelumnya di negeri Kincir Angin Belanda selama kurang lebih 2 minggu (6-20 Oktober 2008).

Di negeri Belanda itu, KiaiKanjeng datang tidak terutama untuk berkesenian, melainkan datang membawa hatinya untuk menyapa masyarakat di sana, membawakan lagu-lagu untuk mempererat persaudaraan di antara orang yang berbeda latar belakangnya, terutama latar belakang agama dan budayanya, terlebih lagi tatkala ketegangan antar manusia kerap mengemuka.

Kemana-mana yang dibawa KiaiKanjeng adalah "manusia"-nya. Bertemu orang, dari pelosok desa hingga kota-kota di mancanegara, KiaiKanjeng lebih dulu menyodorkan sisi manusia dirinya. Manusia dimanusiakan lebih dulu oleh KiaiKanjeng. Agaknya itu dilakukan karena hidup di zaman modern ini telah membuat manusia tercabik-cabik ke dalam kotak-kotak sempit politik, ekonomi, golongan, ideologi, dan berbagai kotak lainnya. Musik dan kesenian, lirik dan lagu, nada dan irama yang dihasilkan KiaiKanjeng lebih banyak "mengabdi" untuk usaha memanusiakan kembali manusia.

Itu tidak berarti bahwa sisi-sisi kualitiatif musikalitas menjadi dinomorduakan. Sama sekali bukan. Bahkan sebaliknya, justru dalam rangka menjalankan proses "nonkesenian" yang disebut memanusiakan itu tadi, KiaiKanjeng makin terlecut untuk lebih kreatif dan berprestasi, kendatipun itu bukan orientasi pertama dan utama. Semoga bukan suatu kesombongan: tahun 2005 KiaiKanjeng mendapat kesempatan pentas di Italia, dan mendapat kehormatan untuk tampil di museum musik klasik dunia di Napoli tempat musisi kelas dunia pernah menggelar konser mereka seperti Guiseppe Verdi, Robert Wagner, Guiseppe Tartini, dan Antonio Vivaldi. Di situ, KiaiKanjeng meninggalkan cinderamata berupa naskah notasi karya mereka, Pambuko I, Pambuko II dan demung.

Di London Inggris, pada tahun 2005, KiaiKanjeng juga mendapatkan kehormatan untuk tampil dalam acara Islamic Award for Muslim Excellence yang dihadiri para pemuka Muslim di Eropa. Di Mesir, tahun 2003, KiaiKanjeng tampil dan mendapatkan sambutan hangat dari publik Mesir dan membuat mata mereka sedikit terbuka tentang Indonesia. Beberapa hari lagi, 21 Oktober 2008, setibanya dari Belanda, KiaiKanjeng telah genap mengunjungi 29 kota di luar negeri.

Tetapi yang lebih melegakan adalah ketika KiaiKanjeng mendengar kesaksian murni dari audiens tentang penampilan mereka. Sebut misalnya Egbert Van Velahuizen tokoh agama Kristen Windesheim yang mendengarkan musik-musik KiaiKanjeng saat mereka tampil di Universitas Windesheim Belanda beberapa hari lalu. Ia mengatakan," Lagu yang kalian mainkan telah menyentuh hati saya. Kalian telah mengajak manusia untuk hidup bersama secara damai. Kalian membawa kami untuk membuka sebuah lembaran baru, sebuah dunia yang lebih baik."

Atau mungkin boleh juga menyimak pernyataan Tom America, seorang komponis terkenal Belanda yang tinggal di Amsterdam. Ia adalah salah seorang yang sangat antusias mengikuti pertunjukan dari awal hingga akhir saat KiaiKanjeng tampil di Gedung teater De Nobelaer Anna van Berchemlaan 2, 4872 XE Etten-Leur Netherlands dalam rangkaian tur Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng ke Belanda 6-20 Oktober ini. Ia menyatakan bahwa dia merasa mendapat pelajaran berharga dari penampilan KiaiKanjeng. Belum pernah ia menyaksikan pertunjukan seperti yang KiaiKanjeng pertontonkan; sebuah instrumen musik tradisional –dengan segala keterbatasannya, mampu meramu dan menampung lagu dan jenis musik dari seluruh benua. Itu menjadi luar biasa, karena bisa menjadi simbol bahwa perbedaan budaya, agama, ras, bangsa dan sebagainya bisa di"satukan" lewat musik.

Egbert Van Velahuizen dan Tom America masih punya teman, tetapi semua kesaksian itu tidak membuat KiaiKanjeng GR. Sebaliknya itu semua memacu mereka untuk Terus Berjalan. Lebih-lebih budayawan Emha Ainun Nadjib sebagai bagian tak terpisah dari proses kehidupan KiaiKanjeng (mulai soal kreativitas, pandangan hidup, hingga soal-soal daily life) terus membesut mereka untuk tak jemu-jemu menjadi manusia yang sebisa mungkin murni sebagai manusia, di manapun mereka hadir, di manapun mereka bertemu beragam masyarakat.

Itu sebabnya, di tanah air misalnya, kerap kali kehadiran KiaiKanjeng dan tentunya Emha Ainun Nadjib itu diam-diam atau tidak diam-diam membawa suatu "tugas" khusus umpamanya untuk mendamaikan pihak-pihak yang bersitegang, menghibur mereka yang kesepian, atau membantu mencari ilmu bagi mereka yang bingung atau terbingungkan, dengan pertama-tama meletakkan manusia sebagai subjek utama--tentu disertai upaya menegakkan objektivitas--dalam menganalisis suatu masalah. Jadilah musik KiaiKanjeng diaransemen untuk mempermudah proses komunikasi sosial, dan ini adalah sesuatu yang unik.

Barangkali karena itulah posisi KiaiKanjeng dalam dunia musik agak tidak berada dalam peta mainstream, walaupun KiaiKanjeng yang wajah orang-orangnya menyiratkan bahwa mereka adalah orang biasa, sederhana, mungkin juga ndeso, tetapi toh mereka tidak canggung jika harus berkolaborasi dengan para pemusik "resmi" seperti Cat Steven, atau kelompok penerusnya Ummi Kultsum di Mesir.

Album Terus Berjalan ini memang bisa berarti secara harfiah bahwa personel-personel KiaiKanjeng terus berjalan dengan menggotong sendiri seabrek alat musik, saron, demung, keyboard, terbang, dan lain-lain ke berbagai tempat di muka bumi ini, seperti ketika mereka beracara di Finlandia 2006, namun di balik perjalanan mereka, tatapan mata mereka tetaplah ke depan. KiaiKanjeng terus berjalan, sebagaimana Anda dan kita semua juga harus terus berjalan.

Album Terus Berjalan ini berisi 8 lagu. Diproduksi oleh Progress Yogyakarta dan distribusinya ReMZ Music Jakarta. Resminya Album sudah beredar pertengahan Nopember lalu.[]



* Terbaru
* Terpopuler

* Kiaikanjeng Terus Berjalan
* Pengalaman Emas Java Enterprise
* SIARAN PERS: KiaiKanjeng Pukau Masyarakat Abu Dhabi
* Reportase: Cak Nun KiaiKanjeng Dan Luka Para TKW
* "Kiai Kanjeng", Wilders dan The Clash of Ignorance
* From Zero to Hero, to Minus Zero....
* Ahmadiyah Berlin
* Membangkitkan Kebangkitan: Paradigma Baru Kemandirian

* Emha Ainun Nadjib, Kiaikanjeng Sang Pelayan
* Tuhan Dan Malaikat Saja Bershalawat
* Penguatan Citra, Keangkuhan Daya, Pembusukan Cinta?!
* Mau Apa? Mau Gimana? Karepmu Opo?
* Novia Kolopaking, Aduhai....
* Mbah Maridjan dan Mbah Ronggo
* Joko Penthil dan Manusia Poligami
* Menuju Nasionalisme 2009
* Selamat Tinggal Pak Harto
* Merelakan Cak Nun Untuk Negeri

Advertisement
Banner

Reportasi: Cak Nun KiaiKanjeng dan Luka Para TKW di Abu Dhabi

Sebelum pentas di Abu Dhabi, rombongan KiaiKanjeng menemui 126 TKW yang berposisi melarikan diri dari majikan-majikan mereka dan ditampung oleh KBRI di Uni Arab Emirat. Sehari sebelumnya hanya ada 46 TKW tapi hari itu bertambah menjadi 126. Cak Nun dan KiaiKanjeng berdialog dengan mereka, mendengarkan keluhan-keluhan mereka, terutama tentang sebab-sebab mereka kabur dari majikannya.

Sesudah tour dua minggu di Nederlands dan bersama Teater Dinasti mementaskan "Tikungan Iblis" di Surabaya, KiaiKanjeng tanpa mampir pulang ke Jogja langsung terbang ke Abudhabi untuk tampil di Cultural Foundations mempersembahkan karya di hadapan para diplomat, pengusaha dan masyarakat Uni Arab Emirat, di samping pentas juga di hadapan masyarakat Indonesia sehari sebelumnya.

Jalan di Atas Arang Membara

KiaiKanjeng melakukan wawancara kepada para pekerja wanita 'pelarian' Indonesia di negeri itu. Jumlah TKW kita di UAE sekitar 45.000 orang yang umumnya berasal dari Jatim, Jateng, Jabar, TKW dan Kalsel. Mereka adalah pekerja-pekerja tingkat terendah sejajar dengan pekerja dari Sudan, Nepal dan Ethiopia.

Pekerja lain dari Philippines, Bangladesh, India dan Pakistan umumnya lebih memiliki ketrampilan, sehingga bisa berkiprah di sektor-sektor yang lebih proffesional.

126 TKW itu melarikan diri dari para majikannya umumnya karena tidak digaji, ada yang beberapa bulan, bahkan ada yang 4 tahun belum digaji. Di samping itu juga karena disiksa oleh majikannya: disiram air panas, dipukuli, dipaksa makan nasi basi tiga hari berturut-turut, disuruh berjalan di atas arang membara, dan sebagainya.

Menurut pengakuan mereka, sebab siksaan-siksaan itu bermacam-macam. Karena ibu majikan cemburu, karena hasutan para pekerja lain yang bukan dari Indonesia, serta sebab-sebab lain yang umumnya berasal dari masalah-masalah yang kecil dan sepele.

Rendahnya Kualitas Kerja

Menurut sumber dari KBRI sebenarnya ada juga yang sebabnya berasal dari kita sendiri. Misalnya karena organisasi pengiriman tenaga kerja kita di Indonesia tidak memberikan ketrampilan yang memadai, sehingga tidak sedikit pekerja kita yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan dari kewajiban kerjanya, di samping sama sekali tidak memiliki bekal bahasa.

"Mungkin sekali tidak ada training sebelum mereka dikirim", kata salah seorang personil KBRI yang bertugas dalam penampungan, "Indonesia bukan tidak punya tenaga trampil atau berkemampuan bahasa, tetapi lembaga-lembaga pencarian tenaga kerja kita sepertinya lebih memilih segmen TKW yang mudah dibodohi, sementara tenaga kerja lain yang lebih berpendidikan dan berketrampilan tidak banyak yang berpikir untuk bekerja di luar negeri. Sehingga yang kita eksport adalah tenaga kerja yang paling rendah kwalitasnya".

KBRI Tidak Tahu Jumlah TKI

Dalam kunjungan ke Saudi Arabia tahun lalu KiaiKanjeng memperoleh informasi bahwa pihak KBRI tidak memiliki informasi tentang jumlah TKW Indonesia. Sebabnya karena Kerajaan Saudi Arabia memiliki perjanjian ketenaga-kerjaan sendiri dan langsung dengan biro-biro penyediaan tenaga kerja di Indonesia tanpa keterkaitan dengan Pemerintah RI.

Posisi dan bargaining power tenaga-tenaga kerja kita di Negara-negara Arab sangat berbeda dengan yang di Hongkong, Korea Selatan atau Malaysia. Terutama karena di Kerajaan-kerajaan negeri Arab tidak ada kejelasan hukum, sementara para pekerja kita yang dikirim ke sana juga relatif tidak memiliki pemahaman hukum tentang kontrak kerja dengan segala lika-likunya.

Cak Nun: Belum ada harapan hukum dan politik

Cak Nun: Belum ada harapan hukum dan politik
Belum ada harapan hukum dan politik

Cak Nun mengatakan kepada para TKW pelarian itu bahwa ia sangat bersedih karena belum melihat ada harapan hukum maupun politik yang dalam waktu dekat bisa menolong mereka berubah dari keterpurukan. "Saya tidak bisa menjanjikan kepada Anda upaya menekan atau mengubah Pemerintah kita untuk berubah dari ketidakmampuan mereka secara hukum maupun politik untuk mengantisipasi apa yang Anda alami bersama ribuan saudara-saudara kita lain di tempat yang berbeda", kata Cak Nun.

"Yang hari ini bisa saya lakukan", ia melanjutkan, "adalah mengajak Anda semua untuk tetap percaya kepada kehidupan, kepada tak terbatasnya kemungkinan di hari depan kita semua, kepada tawazzun (penyeimbangan) yang pasti dilakukan Tuhan, serta perlakuan-Nya yang khusus kepada hamba-hambanya yang dianiaya".

Cak Nun mengajak mereka untuk sementara ini memanfaatkan penderitaan untuk dijadikan tambahan ilmu dan kematangan hidup. "Mungkin inilah kesempatan untuk mencari orang yang lebih menderita dibanding kita. Misalnya, apakah Kanjeng Nabi Muhammad Anda juga menderita?"

Para TKW menjawab, "Ya".
"Siapa yang lebih menderita, Kanjeng Nabi atau kita?", tanya Cak Nun.
Mereka menjawab, "Kanjeng Nabi".

Cak Nun menanyakan siapa di antara para TKW itu yang punya anak laki-laki? Sejumlah dari mereka mengangkat tangan. "Kanjeng Nabi tidak diperkenankan oleh Allah untuk punya anak laki-laki. Beliau punya Qasim, tapi diambil Allah ketika masih kanak-kanak. Anda-anda yang punya anak lelaki, maukah Anda menjadi kaya raya dan sukses tapi putra Anda diminta oleh Allah?"

Para TKW itu menangis. Dan hampir semua kemudian juga terisak-isak ketika KiaiKanjeng mengajak mereka melantunkan beberapa shalawat bersama yang ternyata mereka sangat hapal. Cak Nun mengajak mereka mempersiapkan diri untuk tampil melantunkan itu bersama KiaiKanjeng pada 22 November malam waktu setempat di depan masyarakat Indonesia di Abu Dhabi. ****

Menguak Cahaya Dari Langit

Menguak Cahaya Dari Langit

‘ILM MUNÂSABAH :


Menuju Pemahaman Holistik al-Qur’an

Oleh : Sulisno, S.Pd.I

A. Pendahuluan

Al-Qur’an adalah kalam Allah (verbum dei)[1] yang sekaligus merupakan mukjizat, yang diturunkan kepada Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai kepada umat manusia dengan cara al-tawâtur (langsung dari Rasul kepada umatnya), yang kemudian termaktub dalam mushaf. Kandungan pesan Ilahi yang disampaikan nabi pada permulaan abad ke-7 itu telah meletakkan basis untuk kehidupan individual dan sosial bagi umat Islam dalam segala aspeknya. Al-Qur’an berada tepat di jantung kepercayaan Muslim dan berbagai pengalaman keagamaannya. Tanpa pemahaman yang semestinya terhadap al-Qur’an, kehidupan pemikiran dan kebudayaan Muslimin tentunya akan sulit dipahami.

Sejumlah pengamat Barat memandang al-Qur’an sebagai suatu kitab yang sulit dipahami dan diapresiasi. Bahasa, gaya, dan aransemen kitab ini pada umumnya menimbulkan masalah khusus bagi mereka. Sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, terdapat bagian-bagian di dalamnya yang sulit dipahami.[2] Kaum Muslim sendiri untuk memahaminya, membutuhkan banyak kitab Tafsir dan Ulum al-Qur’an. Sekalipun demikian, masih diakui bahwa berbagai kitab itu masih menyisakan persoalan terkait dengan belum semuanya mampu mengungkap rahasia al-Qur’an dengan sempurna.

Ulum al-Qur’an sebagai metodologi tafsir sudah terumuskan secara mapan sejak abad ke 7-9 Hijriyah, yaitu saat munculnya dua kitab Ulum al-Qur’an yang sangat berpengaruh sampai kini, yakni al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, karya Badr al-Din al-Zarkasyi (w.794 H) dan al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, karya Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H).

‘Ilm Munâsabah[3] (ilmu tentang keterkaitan antara satu surat/ayat dengan surat/ayat lain) merupakan bagian dari Ulum al-Qur’an. Ilmu ini posisinya cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Sebagaimana tampak dalam salah satu metode tafsir Ibn Katsir[4] ; al-Qur’an yufassirû ba’dhuhu ba’dhan, posisi ayat yang satu adalah menafsirkan ayat yang lain, maka memahami al-Qur’an harus utuh, jika tidak, maka akan masuk dalam model penafsiran yang atomistik (sepotong-sepotong).

B. Pengertian

Menurut Imam al-Zarkasyi[5] kata munâsabah menurut bahasa adalah mendekati (muqârabah), seperti dalam contoh kalimat : fulan yunasibu fulan (fulan mendekati/menyerupai fulan). Kata nasib adalah kerabat dekat, seperti dua saudara, saudara sepupu, dan semacamnya. Jika keduanya munâsabah dalam pengertian saling terkait, maka namanya kerabat (qarabah). Imam Zarkasyi sendiri memaknai munâsabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus, atau hubungan antar ayat yang terkait dengan sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, kemiripan ayat, pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. Lebih lanjut dia mengatakan, bahwa keguanaan ilmu ini adalah “menjadikan bagian-bagian kalam saling berkait sehingga penyusunannya menjadi seperti bangunan yang kokoh yang bagian-bagiannya tersusun harmonis”

Manna’ al-Qattan[6] dalam kitabnya Mabahits fi Ulum al-Qur’an, munâsabah menurut bahasa disamping berarti muqarabah juga musyakalah (keserupaan). Sedang menurut istilah ulum al-Qur’an berarti pengetahuan tentang berbagai hubungan di dalam al-Qur’an, yang meliputi : Pertama, hubungan satu surat dengan surat yang lain; kedua, hubungan antara nama surat dengan isi atau tujuan surat; ketiga, hubungan antara fawatih al-suwar dengan isi surat; keempat, hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat; kelima, hubungan satu ayat dengan ayat yang lain; keenam, hubungan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam satu ayat; ketujuh, hubungan antara fashilah dengan isi ayat; dan kedelapan, hubungan antara penutup surat dengan awal surat

Munâsabah antar ayat dan antar surat dalam al-Qur’an didasarkan pada teori bahwa teks merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait.[7] Sehingga ‘ilm munâsabah dioperasionalisasikan untuk menemukan hubungan-hubungan tersebut yang mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lain di satu pihak, dan antara satu ayat dengan ayat yang laijn di pihak yang lain. Oleh karena itu, pengungkapan hubungan –hubungan itu harus mempunyai landasan pijak teoritik dan insight (wawasan) yang dalam dan luas mengenai teks.

C. Postulat dan Alas Teoritik

Jika ilmu tentang asbab al-nuzul mengaikan satu ayat atau sejumlah ayat dengan konteks historisnya, maka ‘ilm munâsabah melampui kronologi historis dalam bagian-bagian teks untuk mencari sisi kaitan antar ayat dan surat menurut urutan teks, yaitu yang disebut dengan “urutan pembacaan” sebagai lawan dari “urutan turunnya ayat”.[8]

Jumhur ulama telah sepakat bahwa urutan ayat dalam satu surat merupakan urutan-urutan tauqifi, yaitu urutan yang sudah ditentukan oleh Rasulullah sebagai penerima wahyu. Akan tetapi mereka berselisih pendapat tentang urutan-urutan surat dalam mushaf, apakah itu taufiqi atau tauqifi (pengurutannya berdasarkan ijtihad penyusun mushaf).[9]

Nasr Hamid Abu Zaid, wakil dari ulama kontemporer, berpendapat bahwa urutan-urutan surat dalam mushaf sebagai tauqifi, karena menurut dia, pemahaman seperti itu sesuai dengan konsep wujud teks imanen yang sudah ada di lauh mahfudz. Perbedaan antara urutan “turun” dan urutan “pembacaan” merupakan perbedaan yang terjadi dalam susunan dan penyusunan yang pada gilirannya dapat mengungkapkan “persesuaian” antar ayat dalam satu surat, dan antar surat yang berbeda, sebagai usaha menyingkapkan sisi lain dari I’jaz.[10]

Secara sepintas jika diamati urut-urutan teks dalam al-Qur’an mengesankan al-Qur’an memberuikan informasi yang tidak sitematis dan melompat-lompat. Satu sisi realitas teks ini menyulitkan pembacaan secara utuh dan memuaskan, tetapi sebagaimana telah disinggung oleh Abu Zaid, realitas teks itu menujukkan ‘stalistika’ (retorika bahasa) yang merupakan bagian dari I’jaz al-Qur’an aspek kesusasteraan dan gaya bahasa. Maka dalam konteks pembacaan secara holistik pesan spiritual al-Qur’an, salah satu instrumen teoritiknya adalah dengan ‘ilm munâsabah.

Keseluruhan teks dalam al-Qur’an, sebagaimana juga telah disinggung di muka, merupakan kesatuan struktural yang bagian-bagiannya saling terkait. Keseluruhan teks al-Qur’an menghasilkan weltanschauung (pandangan dunia) yang pasti. Dari sinilah umat Islam dapat memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) yang betul-betul mencerahkan (enlighten) dan mencerdaskan (educate). Akan tetapi Fazlur Rahman[11] menengarai adanya kesalahan umum di kalangan umat Islam dalam memahami pokok-pokok keterpaduan al-Qur’an, dan kesalahan ini terus dipelihara, sehingga dalam praksisnya umat Islam dengan kokohnya berpegang pada ayat-ayat secara terpisah-pisah. Fazlur Rahman mencatat, akibat pendekatan “atomistik” ini adalah, seringkali umat terjebak pada penetapan hukum yang diambil atau didasarkan dari ayat-ayat yang tidak dimaksudkan sebagai hukum.

Fazlur Rahman nampaknya dipengaruhi oleh al-Syatubi (w. 1388) seorang yuris Maliki yang terkenal, dalam bukunya al-muwafiqat, tentang betapa mendesak dan amsuk akalnya untuk memahami al-Qur’an sebagai suatu ajaran yang padu dan kohesif.[12] Dari sisi ini, maka yang bernilai mutlak dalam al-Qur’an adalah “prinsip-prinsip umumnya” (ushul al-kulliyah) bukan bagian-bagiannya secara ad hoc. Bagian-bagian ad hoc al-Qur’an adalah respon spontanitasnya atas realitas historis yang tidak bisa langsung diambil sebagai problem solving atas masalah-masalah kekinian. Tetapi bagian-bagian itu harus direkonstruksi kembali dengan mempertautkan antara satu dengan yang lain, lalu diambil inti syar’inya (hikmah at-tasyri’) sebagai pedoman normatif (idea moral), dan idea moral al-Qur’an kemudian dikontektualisasikan untuk menjawab problem-problem kekinian.

Tentu untuk melakukan pembacaan holistik terhadap al-Qur’an tersebut membutuhkan metodologi dan pendekatan yang memadai. Metodologi dan pendekatan yang telah dipakai oleh para mufassir klasik menyisakan masalah penafsiran, yaitu belum bisa menyuguhkan pemahaman utuh, komprehensif, dan holistik. ‘Ilm munâsabah sebenarnya memberi langkah strategis untuk melakukan pembacaan dengan cara baru (al-qira’ah al-muashirah) asalkan metode yang digunakan untuk melakukan “perajutan” antar surat dan antar ayat adalah tepat. Untuk itu perlu dipikirkan penggunaan metode dan pendekatan hermeneutika dan antropologi filologis dalam ‘ilm munâsabah.

D. Bentuk-Bentuk munâsabah

a. Munâsabah antarsurat

Munâsabah antarsurat tidak lepas dari pandangan holistik al-Qur’an yang menyatakan al-Qur’an sebagai “satu kesatuan” yang “bagian-bagian strukturnya terkait secara integral”. Pembahasan tentang munâsabah antarsurat dimulai dengan memposisikan surat al-Fatihah sebagai Ummu al-Kitab (induk al-Qur’an), sehingga penempatan surat tersebut sebagai surat pembuka (al-Fâtihah) adalah sesuai dengan posisinya yang merangkum keseluruhan isi al-Qur’an. Penerapan munâsabah antarsurat bagi surat al-Fâtihah dengan surat sesudahnya atau bahkan keseluruhan surat dalam al-Qur’an menjadi kajian paling awal dalam pembahasan tentang masalah ini.

Surat al-Fâtihah menjadi ummu al-Kitab, sebab di dalamnya terkandung masalah tauhid, peringatan dan hukum-hukum,[13] yang dari masalah pokok itu berkembang sistem ajaran Islam yang sempurna melalui penjelasan ayat-ayat dalam surat-surat setelah surat al-Fâtihah. Ayat 1-3 surat al-Fâtihah mengandung isi tentang tauhid, pujian hanya untuk Allah karena Dia-lah penguasa alam semesta dan Hari Akhir, yang penjelasan rincinya dapat dijumpai secara tersebar di berbagai surat al-Qur’an. Salah satunya adalah surat al-Ikhlas yang konon dikatakan sepadan dengan sepertiga al-Qur’an. Ayat 5 surat al-Fâtihah (Ihdina ash-shirâtha al-mustaqîm) mendapatkan menjelasan lebih rinci tentang apa itu “jalan yang lurus” di permulaan surat al-Baqarah (Alim, Lam, Mim. Dzalika al-kitabu la raiba fih, hudan li al-muttaqin). Atas dasar itu dapat disimpulkan bahwa teks dalam surat al-Fâtihah dan teks dalam surat al-Baqarah berkesesuaian (munâsabah).

Contoh lain dari munasabah antarsurat adalah tampak dari munasabah antara surat al-Baqarah dengan surat Ali Imran. Keduanya menggambarkan hubungan antara “dalil” dengan “keragu-raguan akan dalil”. Maksudnya, surat al-Baqarah “merupakan surat yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surat ini memuat kaidah-kaidah agama, sementara surat ali Imran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh Islam”.[14]

Lantas bagaimana hubungan antara surat Ali Imran dengan surat sesudahnya? Pertanyaan itu dapat dijawab dengan menampilkan fakta bahwa setelah keragu-raguan dijawab oleh surat Ali Imran, maka surat berikutnya (an-Nisa’) banyak memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan sosial, kemudian hukum-hukium ini diperluas pembahasannya dalam surat al-Maidah yang memuat hukum-hukum yang mengatur hubungan perdagangan dan ekonomi. Jika legislasi, baik dalam aras hubunhgan sosial ataupun ekonomi, hanya merupakan instrumen bagi tercapainya tujuan dan sasaran lain, yaitu perlindungan terhadap keamanan masyarakat, maka tujuan dan sasaran tersebut terkandung dalam surat al-An’am dan surat al-A’raf[15].


b. Munâsabah antarayat

Kajian tentang munasabah antarayat, sama seperti kajian tentang munasabah antarsurat, berusaha menjadikan teks al-Qur’an sebagai kesatuan umum yang mengacu kepada berbagai hubungan yang mempunyai corak – dalam istilah yang dipakai Abu Zaid – “interptretatif”.[16] Abu Zaid dalam mengkaji munasabah antarayat tidak memasukkan unsur eksternal, dan tidak pula berdasarkan pada bukti-bukti di luar teks. Akan tetapi teks dalam ilmu ini merupakan bukti itu sendiri.

Dalam memberi contoh munasabah antarayat, penulis akan mengemukakan bagaimana Muhammad Syahrour menafsirkan dan mengaitkan satu ayat dengan ayat lain untuk menampilkan makna otentik, yang dalam hal ini penulis pilihkan tentang masalah poligami. :

Al-Qur’an surat an-Nisa’(4) ayat 3 adalah ayat yang menjadi rujukan fundamental (dan satu-satunya) dalam urusan poligami dalam ajaran Islam :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (an lâ tuqsithǔ) terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil (an lâ ta’dilǔ), kama (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Q.S. an-Nisa’/4:3)


Syahrur (1992)[17] dalam magnum opus-nya al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah, menjelaskan kata tuqsithǔ berasal dari kata qasatha dan ta’dilǔ berasal dari kata ‘adala. Kata qasatha dalam lisân al-Arâb mempunyai dua pengertian yang kontradiktif; makna yang pertama adalah al-‘adlu (Q.S. al-Mâidah/5:42, al-Hujarât/49:9, al-Mumtahanah/60:8). Sedangkan makna yang kedua adalah al-Dzulm wa al-jŭr (Q.S. al-Jinn/72:14). Begitu pula kata al-adl, mempunyai dua arti yang berlainan, bisa berarti al-istiwa’ (baca sama, lurus) dan juga bisa berarti al-a’waj (bengkok). Di sisi lain ada berbedaan dua kalimat tersebut, al-qasth bisa dari satu sisi saja, sedang al-’adl harus dari dua sisi.

Dari makna mufradat kata-kata kunci (key word) Q.S an-Nisa’/4:3 menurut buku al-Kitâb wa-al-Qur’ân : Qirâ’ah mu’âsyirah karya Syahrur, maka diterjemahkan dalam versi baru (baca : Syahrur) ayat itu sebagai berikut :

“Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (namun jika kamu bisa berbuat adil, dengan memelihara anak-anak mereka yang yatim), maka kawinilah para janda tersebut dua, tiga atau empat. Dan jika kamu khawatir tidak kuasa memelihara anak-anak yatim mereka, maka cukuplah bagi kamu satu istri atau budak-budak yang kamu mikili. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan zalim (karena tidak bisa memelihara anak-anak yatim)”


Ayat di atas adalah kalimat ma’thufah (berantai) dari ayat sebelumbya “wa in …” yang merupakan kalimat bersyarat dalam kontek haqq al-yatâmâ, “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (wa âthǔ al-yatâmâ) harta mereka. Jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakana (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar” (Q.S. an-Nisa’/4:2) Dan jika teori batas (nadhariyah hududiyah) Syahrur diterapkan dalam menganalisis ayat itu, maka kan memunculkan dua macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas).

Pertama, hadd fi al-kamm. Ayat itu menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan syara’ adalah satu, karena tidak mungkin seorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’la atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Manakala seseorang beristri satu, dua, tiga atau empat orang, maka dia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah, tapi jikalau seseorang beristri lebih dari empat, maka dia telah melanggar hudŭd Allah. Pemahaman ini yang telah disepakati selama empat belas abad yang silam, tanpa memperhatikan konteks dan dalam kondisi bagaimana ayat tersebut memberikan batasan (hadd fi al-kayf).

Kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud di sini adalah apakah istri tersebut masih dalam kondisi bikr (perawan) atau tsayyib/armalah (janda)? Syahrur mengajak untuk melihat hadd fi al-kayf ini karena ayat yang termaktub memakai shighah syarth, jadi seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah : “Fankihǔ mâ thaba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain untuk istri pertama tidak disyaratkan adanya hadd fi al-kayf, maka diperbolehkan perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah/ (janda yang mempunyi anak yatim). Maka seorang suami yang menghendaki istri lebih dari satu itu akan menanggung istri dan anak-anaknya yang yatim. Hal ini, menurut Syahrur, akan sesuai dengan pengertian ‘adl yang harus terdiri dari dua sisi, yaitu adil kepada anak-anaknya dari istri pertama dengan anak-anak yatim dari istri-istri berikutnya.[18]

Interpretasi seperti itu dikuatkan dengan kalimat penutup ayat :”dzâlika adnâ an lâ ta’ūlū”. Karena ya’ūlū berasal dari kata aul artinya katsratu al-iyâl (banyak anak yang ditanggung), maka yang menyebabkan terjadinya tindak kedzaliman atau ketidakadilan terhadap mereka. Maka ditegaskan kembali oleh Syahrur, bahwa ajaran Islam tentang poligami, bukan sekedar hak atau keleluasaan seorang suami untuk beristri lebih dari satu, akan tetapi yang lebih esensial dari itu adalah pemeliharaan anak-anak yatim. Maka dalam konteks poligami di sini tidak dituntut adâlah (keadilan) antar istri-istrinya (lihat firman Allah Q.S. al-Nisa’/4:129).

Bentuk lain munasabah antar ayat adalah tampak dalam hubungan antara ayat pertama dengan ayat terakhir dalam satu surat. Contoh dalam masalah ini misalnya dalam surat al-Mu’minun, ayat pertama yang berbunyi “qad aflaha al-mu’minun” lalu di bagian akhir surat tersebut berbunyi “innahu la yuflihu al-kafirun”. Ayat pertama menginformasikan keberuntungan dalam orang-orang mu’min, sedangkan ayat kedua tentang ketidakberuntungan orang-orang kafir.

Munasabah antar surat ini juga dijumpai dalam contoh misalnya kata muttaqin dalam surat al-Baqarah : 2, dijelaskan oleh ayat berikutnya yang memberi informasi tentang ciri-ciri orang-orang yang bertaqwa (muttaqun).


DAFTAR PUSTAKA


Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972


Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995


Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966


Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I


Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th.


Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I


Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001


Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001


W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995




[1] Istilah verbum dei, penulis dapatkan dari buku karya Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Qur’an, Yogyakarta : Forum Kajian Agama dan Budaya, 2001

[2] Lihat W. Montgomery Watt, Pengantar Studi al-Qur’an, Taufiq Adnan Amal (Penterjemah), Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1995, h. xi

[3] Para Ulama memasukkan ‘Ilm Munasabah sebagai bagian dari Ulum al-Qur’an, tak terkecuali Imam al-Zarkasyi (salah satu dari 74 cabang Ulum al-Qur’an) dan Imam al-Suyuthi (salah satu dari 100 cabang Ulum al-Qur’an).

[4] Lihat Imad al-Din Abu al-Fida’ Islamil Ib Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Beirut : Dar al-Fikr, 1966

[5] Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’an, Beirut : Dar al-Ma’rifah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1972, h. 35-36

[6] Manna’ al-Qattan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, Riyadh : Mansyurat al-Ashr al-Hadits, t.th. h. 77-79

[7] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an : Ktitik Terhadap Ulumul Qur’an, Yogyakarta : LkiS, 2001, h. 215

[8] Ibid., h. 213

[9] Lihat perdebatan para ulama itu dalam Jalal al-Din al-Suyuti, al-Itqan fi al-Ulum al-Qur’an, Damaskus : Dar al-Fikr, 1979, Juz I, h. 60-63

[10] Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit., h. 213-214

[11] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Transformasi Intelektual, Ahsin Mohammad (penterjemah), Bandung : Penerbit Pustaka, 1995, h, 2-3

[12] Lihat Kata Pengantar Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam buku terjemahan Fazlur Rahman, op.cit., h. vi

[13] Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, op.cit., h. 218-219

[14] Ibid. h. 219

` [15] Ibid., h. 220-221

[16] Ibid., h. 226-236

[17] Muhammad Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’an : Qira’ah Muashirah, Kairo : Sina Publisher, cet. I, 1992, h.

[18] Ibid., h. 598

ILMU MUNASABAH

PENDAHULUAN

Lahirnya pengetahuan tentang korelasi (Munasabah) ini berawal dari kenyataan bahwa sistematika al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam Mushaf Utsmani sekarang tidak berdasarkan pada kronologis turunnya. Itulah sebabnya terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama Salaf tentang urutan surat di dalam al-Qur’an. Pendapat pertama, bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi. Golonghan kedua berpendapat bahwa, hal itu didasarkan atas ijtuhad.

Para sahabat setelah mereka bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat, serupa dengan golongan pertama, kecuali surat al-Anfal dan Bara’ah yang dipandang bersifat ijtihadi. Pendapat pertama didukung antara lain oleh al-Qadhi Abu Bakar dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibnu al-Anbari, al-Kirmani dan Ibnu al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, al-Qadhi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain dan Ibnu al-Faris. Pendapat ketiga dianut oleh al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat ini adalah mushaf-mushaf ulama Salaf yang urutan suratnya berfariasi.

Atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni “Ulum al-qur’an”. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masa ini, menurut as-Shuyuti, adalah Syaikh Abu BAkar an-Naisyaburi, kemudian diikuti ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Zubair dalam kitab Tartib as-Suwar al-Qur’an, Syaikh Burhanuddin al-Biqo’i dengan bukunya Nazhm ad-durar fi Tanasub al-Ayyi wa as-Suwar. Dan Asyuyuti dalam kitab Asror at-Tartib al-Qur’an.

PEMBAHASAN

Pengertian Munasabah
Kata Munasabah secara etimologi, menurut as-Syuyuti berrarti al-Musakalah (keserupaan) dan al-Muqabarah (kedekatan).
Sedangkan menurut terminologi dapat didefinisikan sebagai berikut:
Menurut az-Zarkasyi.
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan pada akal, pasti akal itu menerimanya.

Menurut Ibnu al-‘Araby
Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi.
Menurut al-Biqai
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an baik ayat dengan ayat atau surat dengan surat.
Jadi untuk meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam.
As-Syuyuti menjelaskan beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan

munasabah ini, yaitu:
Memperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
Memperhatikan urutan ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
Menentukan tingkatan urutan-urutan itu apakah ada hubungannya atau tidak.
Dalam mengambil kesimpulan hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.

Dasar Pemikiran Adanya Munasabah Diantara Ayat-ayat atau Surat-surat al-Qur’an.
As-Syitibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dan lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan.

Mengenai hubungan antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat lain (sebelum atau sesudah) tidaklah kalah pentingnya dengan mengetahui sebab Nuzulul Ayat. Sebab mengetahui adanya hubungan antara ayat-ayat dan surat-surat itu dapat pula membantu kita memahami dengan tepat surat-surat dan ayat-ayat yang bersangkutan. Ilmu al-Qur’an ini disebut ilmu Tunasabilaayatiwasuwar.

Ilmu ini menjelaskan segi-segi hubungan antara beberapa ayat atau beberapa surat al-Qur’an. Apakah hubungan itu berupa ikatan antara ‘umm’ (umum) dan khusus, atau antara abstrak dan konkrit, atau antara sebab akibat atau antara illat dan ma’lulnya ataukah antara rasional dan irrasional bahkan dua hal yang kontardiksi.1

Macam-macam Munasabah
Menurut as-Syuyuti dalam kitab Asror, terdapat tujuh macam munanasabah, yaitu:
Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuti menyimpulkan bahwa munasabah antar satu surat dengan surat sebelumnya, seperti contoh dalam surat al-Fatikhah ayat 1 terdapat ungkapan Alhamdulillah. Ungkapan ini berkorelasi dengan surat al-Baqarah ayat 152 dan 186.
Munasabah antara nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol dan itu tercermein pada namanya masing-masing. Seperti Surat al-Baqarah, surat Yusuf dan surat an-Naml. Umpamanya pada surat al-Baqarah ayat 67-71, yang menceritakan tentang lembu betina yang intinya membicarakan tentang kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan kata lain, tujuan surat ini adalah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan pada hari kemudian.
Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah ini sering berbentuk pula munasabah at-Tadhadot (perlawanan), seperti contoh dalam surat al-Hadid ayat 41.
Diantara kata Yaliju (masuk) dan Yakhruju (keluar) serta kata Yanzilu (turun) dan kata Ya’ruju (naik) terdapat korelasi berlawanan. Bahkan munasabah seperti ini dapat dijumpai dalam surat al-Baqarah, an-Nisa dan al-Maidah.

Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan
Munasabah ini sering terlihat jelas tetapi sering pula tidak jelas. Munasabah yang terlihat jelas biasanya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan) dan tasdid (penegasan).

Munasabah dengan pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna ayat atau bagian ayat terletak disampingnya seperti contoh, ungkapan robbal’alamin pada ayat kedua memperkuat kata arrahman dan arrahim pada ayat pertama.
Sedangkan munasabah antar ayat yang tidak jelas dapat dilihat melalui qora’in maknawiyah (hubungan makna) yang terlihat dalam empat pola munasabah yaitu, at-Tanzir (perbandingan), al-Mudhadat (perlawanan), istidhrat (penjelasan lebih lanjut) dan at-Takhallus (perpindahan).

Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya
Dalam surat al-Baqarah ayat 1-20, umpama Allah memulai penjelasan-Nya, tentang kebenaran dan fungsi al-Qur’an bagi orang-orang yang bertaqwa. Dalam kelompok ayat berikutnya dibicarakan tentang tiga kelompok manusia dan sifat mereka yang berbeda-beda yakni mukmin, kafir dan munafik.

Munasabah antar fasilah (pemisah) dan isi ayat
Jenis munasabah ini mengandung tujuan tertentu diantaranya tamkin (menguatkan) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Seperti contoh dalam surat al-Ahzab ayat 25.
Dalam ayat ini Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan bukan karena menganggapnya lemah melainkan karena Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa. Jadi adanya Kashilah diantara penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus dan sempurna.

Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Munasabah semacam ini, as-Syuyuti, telah mengarang sebuah kitab yang berjudul Marasyid al-Mathali fi Tanasub al-Maqali wa al-Mathali, seperti contoh yang terdapat dalam surat al-Qashas yang diawali dengan penjelasan perjuangan Nabi Musa ketika berhadapan dengan kekejaman Fir’aun atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir setelah mengalami berbagai tekanan. Pada akhir surat Allah menyampaikan kabar gembira kepada NAbi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Munasabah disini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.

Munasabah penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya.
Jika memperhatikan setiap pembukaan surat, kita akan menjumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Seperti pada permulaan surat al-Hadid yang dimulai dengan tasbih:

Ayat ini bermunasabah dengan ayat sebelumnya yakni surat al-Waqi’ah.
Pendapat Ulama Tentang Munasabah
Syaikh Izuddin Abdus Salam, memberikan alasan beliau berkata: “munasabah adalah ilmu yang baik, tetapi dengan syarat adanya hubungan yang jelas dalam satu persoalan, menyatu antara awal dan akhirnya, keduanya sama-sama mempunyai hubungan dan apabila terjadi dalam sebab-sebab yang berbeda maka hal tersebut tidak masuk dalam syarat tersebut”.

Muhammad Izzah Daruzzah, menyatakan, bahwa semula tidak ada hubungan antara satu surat atau ayat dengan ayat atau surat yang lain.
Dr. Shubhi al-Shalik, mengemukakan bahwa mencari hubungan antara satu surat dengan surat yang lainnya adalah sesuatu yang sulait dan sesuatu yang dicari-cari tampa ada pedoman atau petunjuk, kecuali hanya didasarkan atas tertib surat-surat taukifi itu.
Hanya sedikit ulama tafsir yang mengungkapkan adanya munasabah atau relevansi antara surat-surat, mereka cukup mencari-cari adanya dua lafadz yang serupa atau adanya dua ayat yang sebanding didalam kedua surat yang berurutan letaknya, baik dua lafadz dan dua ayat yang serupa atau sebanding itu terdapat permulaan atau pertengahan maupun penghabisan surat.

Kaidah Mempelajari Ilmu Munasabah
Menggali mukjizat al-Qur’an dari segi bahasanya, sehingga kita dapat mengetahui mutu dan tingkat ke Balaghah-an bahasa al-Qur’an, sehingga dapat lebih meyakinkan bahwa al-Qur’an adalah mukjizat Allah bagi Nabi Muhammad SAW.

Memperluas balasan para musyafir untuk memahami makna yang dikandungnya sehingga akan lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap al-Qur’an.
Dapat membantu dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga mempermudah penjelasan hukum.
Kita bisa mengetahui prinsip-prinsip kalam yang dipakainya.
Menurut imam Zarkazi, beliau berkata “faidahnya menjadikan bagian-bagian kalam berkaitan dengan sebagian lainnya, maka tepat kekuatan hubungannya” dan jadilah karangan tersebut menjadi sebuah upaya pembangunan jiwa yang utuh.



KESIMPULAN

Muhasabah secara etimologi menurut as-Syuyuti, berarti al-Musyakalah (keserupaan) dan al-Muqabarah (kedekatan). Sedangkan secara terminologi, ada tiga pengertian yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya menurut az-Zarkazi, menurut Ibnu al-‘Arabi, menurut al-Biqai. Sedangkan Imam as-Syuyuti membagi tujuh macam ilmu munasabah, yaitu: Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya; Munasabah antara nama surat dan tujuan turunnya; Munasabah antar bagian suatu ayat; Munasabah antar ayat yang letaknya berdampingan; Munasabah antara suatu kelompok ayat dengan kelompok ayat disampingnya; Munasabah antar fasilah (pemisah) dan isi ayat; Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama. Banyak faidah yang dapat kita ambil dengan mempelajari ilmu munasabah, diantaranya yaitu bisa mengetahui prinsip-prinsip kalam yang dipakainya maupun menafsirkan al-Qur’an sehingga mempermudah menjelaskan hukum.



PENUTUP

Demikian makalah ini kami sampaikan, kami sadar bahwa penulis dalam makalah ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan. Semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis. Amiiin…



DAFTAR PUSTAKA

1 Prof. Dr. H. Abdul Djalal, HA., Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000, hlm. 15